Penerjemah : Muzirwan
Umar Bin Abdul Aziz
Dan
Putranya
Abdul Malik
Bin Umar Bin Abdul Aziz
“tahukah
anda bahwa setiap kaum mempunyai orang cerdas, dan orang cerdas Bani Umayyah
adalah ‘Umar bin Abdul ‘Aziz serta bahwa kelak dia dibangkitkan pada hari
kiamat seorang diri sebagai umat.”
(Muhammad
bin Ali bin al Husain)
Belum lagi
seorang tabiin yang agung, amirul mukminin, ‘Umar bin A bdul ‘Aziz membersihkan
kedua tangannya dari debu kuburan pendahulunya[1],
Sulaiman bin ‘Abdul Malik, tiba-tiba beliau mendengar suara gemuruh bumi di sekitarnya,
lalu beliau berkata :
“ apa ini…?”
Orang-orang berkata
: “ini adalah kendaraan Khalifah –wahai amirul mukminin- telah di siap kan untukmu agar engkau menaikinya.” Lalu
Umar melihatnya dengan sebelah mata, kemudian berkata dengan suara gemetar dan
terbata-bata karena kelelahan dan kurang tidur :
“Apa hubungannya denganku? Jauhkan ini dariku,
mudah-mudahan Allah memberkati kalian. Dan tolong bawa kemari keledaiku, karena
ia sudah cukup bagiku.”
Kemudian belum
lagi pas posisi duduk beliau di atas punggung keledai hingga datanglah komandan
polisi yang berjalan di depannya. Bersamanya sekelompok anak-anak buahnya yang berbaris di sektor
kanan dan kirinya. Di tangan-tangan mereka tergenggam tombak yang mengkilat.
Lalu beliau
menoleh ke arahnya dan berkata, : “ aku tidak membutuhkan kamu dan mereka. Aku
hanyalah orang biasa dari kalangan kaum muslimin. Aku berjalan seperti mereka
berjalan dan saya istirahat sebagaimana mereka istirahat.
Selanjutnya,
beliau berjalan dan orang-orang berjalan bersamanya hingga memasuki masjid dan
orang-orang di panggil untuk shalat ,
“ ash- shalatu
jami’ah.. ash- shalatu jami’ah..”
Maka
berdatanganlah orang-orang ke masjid dari segala penjuru.
Ketika jumlah
mereka telah sempu n rna, beliau berdiri sebagai khatib. Beliau memuji Allah
dan menyanjung-Nya serta bershalawat atas nabi, kemudian berkata :
“wahai
manusia, sesungguhnya aku mendapat cobaan dengan urusan ini (khilafah) yang
tanpa aku dimintai persetujuan terlebih dahulu, ataupun bermusyawarah terlebih dahulu dengan kaum
muslimin.
Sesunggunya,
aku telah melepaskan baiat yang ada di pundak kalian untukku, untuk selanjutnya
kalian pilihlah dari kalian sendiri seorang khalifah yang kalian ridhai.”
Lantas
orang-orangpun berteriak dengan satu suara kekompakan, “ kami telah memilihmu,
wahai amirul mukminin dan kami ridha terhadapmu. Maka aturlah urusan kami
dengan berkat karunia dan barakah Allah.”
Ketika
suara-suara telah senyap dan hati telah tenang, bel iau memuji Allah dan
menyanjung-Nya sekali lagi dan bershalawat atas muhammad, hamba dan utusan
Allah.
Beliau mulai
menganjurkan orang-orang supaya bertakwa, mengajak mereka supaya berzuhud dari
kehidupan dunia, mensugeti mereka kepada kehidupan akhirat dan mengingatkan
mereka kepada kematian dengan intonasi yang dapat melunakkan hati yang keras,
menjadikan air mata durhaka bercucuran dengan deras dan keluar dari lubuk hati
pemiliknya sehingga terpatri di dalam lubuk hati para pendengarnya.
Kemudian
beliau mulai meninggikan suaranya yang agak serak supaya semua orang
mendengarnya, :
“wahai manusia
barangsiapa yang taat kepada Allah, maka dia wajib di taati….
Dan barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah,
maka tidak seorangpun yang boleh taat kepadnya.
Wahai manusia, taatilah aku selama aku mentaati
Allah dalam menangani urusan kalian…
Jika
aku bermaksiat kepada Allah, maka kalian tidak usah taat kepadaku.”
Kemudian
beliau turun dari mimbar untuk menuju kerumahnya dan masuk ke kamarnya.
Beliau
benar-benar ingin mendapatkan sedikit istirahat, setelah kelelahan yang amat
sangat, semenjak wafatnya khalifah sebelumnya.
*************
Akan tetapi, ‘Umar bin Abdul Aziz baru saja
mau meletakkan punggungnya di tempat tidurnya, hingga datanglah putranya Abdul Malik yang waktu itu baru menginjak
usia tujuh belas tahun.
Lalu sang
putra berkata, : ” apa yang ingin engkau lakukan, wahai amirul mukminin…?!!
Ayahnya
menjawab, : “wahai anakku, aku ingin tidur sejenak, karena tidak tersisa lagi
tenagaku ini.”
Apakah engkau masih ingin tidur sejenak
sebelum mengembalikan hak-hak orang yang di zhalimi, wahai Amirul
mukminin..?!!” kata putranya lagi
Lalu sang ayah
menjawab,:
“wahai anakku,
sesungguhnya tadi malam aku tidak tidur karena bersama pamanmu Sulaiman. Nanti
kalau sudah datang waktu Dhuhur, aku akan shalat bersama orang-orang dan akan
aku kembalikan hak-hak orang yang di zhalimi tersebut, insya Allah.”
Sang putra berkata lagi,
“siapakah yang
menjaminmu, wahai Amirul mukminin kalau usiamu hanya sampai Dhuhur.?!!
Ucapan ini
berhasil membakar semangat umar dan melenyapkan rasa kantuk dari kedua matanya
sehingga membangkitkan kekuatan dan kesegaran badannya yang sebelumnya demikian
lelah. Ketika itu berkatalah dia kepada sang putra.
“mendekatlah
kemari wahai putraku..!”
Sang putrapun
mendekat dan umar langsung memeluk serta menciumi keningnya seraya berkata, :
“ segala puji
bagi allah yang telah melahirkan dari keturunanku orang yang menolongku didalam
menjalakan agama.”
Kemudian
beliau berdiri dan menyuruh supaya di umumkan kepada orang-orang,
: “barangsiapa
yang merasa teraniaya, maka hendaklah dia mengajukan perkaranya.”
*************
Lalu, siapakah
‘Abdul Malik ini.?!
Bagaimana
cerita anak muda ini sehingga menjadi buah bibir orang-orang..
Sungguh, dialah
anak yang berhasil mengajak ayahnya untuk rajin beribadah dan mengarahkannya
agar menempuh jalan kezuhudan. Marilah kita telusuri lagi kisah pemuda yang
shalih ini dari awalnya..!
*************
Umar bin Abdul
Aziz mempunyai lima belas orang anak, tiga di antaranya ada tiga perempuan.
Anak-anak itu
semuanya adalah anak-anak yang memiliki tingkat ketakwaan dan keshalihan yang
sangat memadai. Namun Abdul malik adalah putra paling menonjol diantara
saudara-saudaranya dan bintangnya mereka yang bersinar-sinar. Dia seorang anak
yang paling ahli sastra, mahir lagi cerdik, memiliki cara berpikir bagaikan
orang dewasa.
Di samping itu, dia memang tumbuh sebagai anak
yang taat kepada Allah sejak mudanya sehingga dialah orang yang tingkah lakunya
paling dekat dengan keluarga besar al- Kahaththab secara umum serta yang paling
mirip dengan Abdullah bin Umar, khususnya dari sisi ketakwaan kepada Allah,
rasa takut berbuat maksiat kepada-Nya serta bertaqarrub kepada-Nya dengan
melakukan ketaatan.
Keponakannya
Ashim[2]
bercerita, “suatu waktu, aku pergi ke Damaskus lantas mampir di rumah anak
pamanku (sepupuku), Abdul Malik. Saat itu, dia masih bujangan, lalu kami
menunaikan shalat isya kemudian masing-masing kami beranjak ke tempat tidur.
Kemudian aku bangun pada tengah malam, ternyata Abdul Malik sedang berdiri shalat
dengan khusu’nya seraya membaca firman allah Azza wajalla :(أفرأيت إن متّعناهم سنين * ثم جاءهم ماكانوا
يوعدون* ماأغني عنهم ما كانوا يمتعون)
“ maka bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kepada mereka
kenikmatan hidup beberapa tahun. Kemudian datang kepada mereka azab yang telah di ancamkan
kepada mereka. Niscaya tidak berguna kenikmatan yang mereka rasakan.”
Tidak ada yang
membuatku begitu terkesan kepadanya kecuali saat dia mengulang-ngulang ayat
tersebut dan menangis dengan tangisan yang tersedu-sedu dari dalam hati.
Setiap kali
dia selesai dari ayat itu, dia mengulanginya kembali, sehingga aku berkata
dalam hati,”anak itu bisa mati dalam tangisannya.”
Ketika aku
melihatnya seperti itu, aku mendesis,
“la ilaha illallah
wal hamdu lillah. Sebagaimana yang diucapan orang yang bangun dari tidur,
padahal tujuanku untuk menghentikan tangisannya.
Ketika
mendengar suaraku, dia terdiam dan tidak lagi terdengar suara rintihannya
tersebut.
************
Pemuda dari
keluarga besar Umar ini banyak berguru kepada ulama-ulama besar pada zamannya
sehingga begitu menikmati dengan kitab Allah, kenyang dengan hadist Rasulullah
serta pemahaman terhadap agama.
Sehingga dia
menjadi seorang yang dapat berkompetisi dengan para ulama kelas atas pada
zamannya, sekalipun usianya ketika itu masih sangat muda.
Diriwayatkan
bahwa umar bin abdul aziz pernah mengumpulkan para Qurra’ dan ahli fiqh negeri
syam. Ketika itu, beliau berkata, : “ Sesungguhnya aku memanggil kalian untuk
penanganan tindak kezhaliman yang sekarang ada di tangan keluargaku, bagaimana
pandangan kalian..?
Maka mereka
berkata :
“wahai amirul
mukminin, sesungguhnya hal itu tidak termasuk kawasan wewenang anda. Sesungguhnya
Dosa-dosa atas tindakan kezhaliman tersebut sepenuhnya berada di pundak orang
yang mengambilnya secara tidak benar (merampasnya).”
Rupanya beliau
belum puas dengan jawaban mereka tersebut, lalu melirik ke arah salah seorang
diantara mereka yang tidak sependapat dengan pendapat mereka itu, seraya
berkata kepadanya,
“Utuslah orang
untuk memanggil Abdul Malik, karena dia tidak lebih rendah ilmunya, pemahaman
fiqhnya ataupun daya nalarnya dari orang-orang yang telah engkau undang.”
Ketika Abdul Malik
menemuinya, umar berkata kepadanya, :
“bagaimana
pendapatmu tentang harta orang-orang yang diambil anak-anak paman kita secara
dzalim, sedangkan pemilik-pemiliknya telah datang dan memintanya dan kita telah
mengetahui hak mereka pada harta itu.”
Abdul Malik
berkata :” menurutku, hendaknya ayahanda mengembalikan harta itu kepada para
pemiliknya selama ayahanda mengetahui permasalahannya. Sebab, jika tidak
berarti ayahanda termasuk kongsi orang-orang yang mengambilnya secara dzalim
tersebut.”
Maka lapanglah
seluruh rongga-rongga tubuh umar, jiwanya menjadi lega dan apa yang
menghantuinya pun hilang.
***********
Anak muda
keturunan umar ini lebih menyukai “Murabathah” (berjaga-jaga diperbatasan dari
serangan musuh) dengan tinggal di salah satu kota yang dekat dengannya ketimbang
tetap tinggal di negeri Syam.
Dia tetap
berangkat ke sana…. sementara di
belakangnya kota Damaskus yang bertaman indah, naungan yang rimbun dan memiliki
tujuh sungai dia tinggalkan begitu saja.
Sekalipun sang
ayah telah mengetahui keshalehan dan ketakwaan anaknya, beliau masih
mengkawatirkannya dan kasihan kalau-kalau dia bisa luluh oleh godaan syaithan
dan gejolak-gejolak masa muda serta begitu antusias untuk mengetahui
segala-galanya tentang dirinya tersebut selama dia bisa mengetahuinya. Dan
beliau tidak pernah melalaikan hal itu dan tidak pernah mengabaikannya sama
sekali.
***********
Maimun bin
Mahran, seorang menteri, Qadhi sekaligus penasehat ‘Umar bin Abdul Aziz, pernah
bercerita : “ Sewaktu menemui Umar bin Abdul Aziz, aku mendapatinya sedang
menulis surat kepada anaknya, Abdul Malik. Dalam suratnya itu, beliau
memberikan nasehat, pengarahan, peringatan, berita menakutkan dan gembira.
Diantara
isinya adalah,
Amma ba’du,
“sesungguhnya
engkaulah orang yang paling pantas menangkap dan memahami ucapanku. Dan sesungguhnya pula, segala puji bagi Allah,
Dia telah berbuat baik kepada kita dari urusan sekecil-kecilnya hingga
sebesar-besarnya. Maka ingatlah karunia Allah kepadamu dan kepada keduaorang
tuamu. Janganlah sekali-kali kamu berlaku sombong dan bangga diri, karena hal
itu adalah termasuk perbuatan syaithan, sedangkan syaithan itu adalah musuh
yang nyata bagi orang-orang yang beriman…
Dan
ketahuilah, bahwa aku mengirim surat ini, bukan karena ada laporan tentang
dirimu sebab aku tidak mengetahui tentangmu kecuali hal yang baik-baik.
Namun
demikian, telah sampai laporan kepadaku bahwa perihal tindakanmu yang suka
berbangga-bangga diri. Seandainya kebanggan ini menyeretmu kepada sesuatu yang
aku benci, tentu kamu mendapatkan telah melihat dariku sesuatu yang kamu benci.
Maimun
berkata, :
“ kemudian Umar menoleh kepadaku seraya
berkata,: “wahai Maimun, sesungguhnya anakku Abdul Malik telah menghiasi mataku
(dikasihi dan tidak ada lagi cacatnya) dan aku menuduh diriku telah melakukan
itu. Karenanya, aku khawatir kalau cintaku kepadanya telah melebihi
pengetahuanku tentang dirinya sehingga apa yang menimpa nenek moyangku dulu
yang buta terhadap aib anak-anaknya menimpa diriku juga.
Maka pergilah
untuk mengawasinnya, carilah informasi akurat tentangnya serta perhatikanlah
apakah ada padanya sesuatu yang mirip kesombongan dan berbangga-bangga itu,
karena dia masih anak muda dan aku belum dapat menjamin dirinya bisa terhindar
dari godaan syaithan.”
Maimun berkata
lagi :
“Maka aku
segera berangkat hingga bertemu dengan Abdul Malik, lalu minta permisi dan
masuk. Ternyata dia adalah seorang yang baru menginjak remaja dan masih muda
belia, memiliki pandangan yang ceria dan sangat tawadhu’ (rendah diri). Dia
duduk di atas hamparan putih, di atas karpet terbuat dari bulu. Lantas
menyambutku sembari berkata, : “ Aku telah mendengar ayahanda sering berbicara
tentang dirimu yang memang pantas kamu menyandangnya, yaitu seorang yang baik.
Aku berharap Allah menjadikanmu orang yang berguna.
Aku bertanya
kepadanya, : bagaimana keadaanmu..?
Dia menjawab :
“senantiasa dalam keadaan baik dan mendapat nikmat dari Allah Azza wa jalla.
Hanya saja, aku khawatir bilamana sangkaan baik ayahanda terhadapku membuatku
terbuai sementara sebenarnya aku belum mencapai tingkat keutamaan sebagaimana
yang disangkanya itu.
Dan sungguh
aku khawatir kalau kecintaan ayahanda kepadaku telah melebihi pengetahuannya
tentang diriku sehingga aku malah menjadi beban baginya”
Mendengar
jawaban itu, aku (maimun) jadi terkagum-kagum kenapa bisa terjadi kecocokan
hati diantara keduanya.
Kemudian aku
bertanya kepadanya : “tolong beritahu aku dari mana sumber penghidupanmu..?
Dia menjawab :
“ dari hasil tanah yang aku beli dari seorang yang mendapat warisan ayahnya.
Aku membayarnya dengan uang yang bukan syubhat sama sekali sehingga karenanya
aku tidak membuthkan lagi harta Fai’[3]
kaum muslimin.
Aku bertanya
lagi
Apa
makananmu..?
“terkadang
daging, terkadang adas dan minyak dan terkadang cuka dan minyak. Dan ini sudah
cukup”
Lalu aku
bertanya lagi, :” apakah kamu tidak merasa bangga dengan dirimu sendiri.? Dia
menjawab “pernah aku merasakan sedikit dari hal semacam itu namun tatkala
ayahandaku memberikan wejangan kepadaku, dia berhasil membelalakkan mataku akan
hakikat diriku dan menjadikannya kecil bagiku dan jatuh harkatnya di mataku
sehingga akhirnya Allah Azza wa jaalla menjadikan wejangan itu bermamfaaat bagi
diriku. Semoga Allah membalas kebaikan ayahandaku .”
Satu jam aku
mengobrol bersamanya dan rileks dengan ucapannya. Rasanya, belum pernah aku
melihat pemuda setampan dia, sesempurna otaknya dan seluhur akhlaknya padahal
dia masih belia dan kurang pengalaman.
Ketika di
penghujung siang, pembantunya datang sembari bekata : “ semoga Allah memperbaki
dirimu, kami sudah kosongkan!.” Lalu dia diam…
Aku bertanya
kepadanya : “ apa yang mereka kosongkan itu..?.”
“WC” katanya
“bagaimana
caranya.?” Tanyaku lagi
“yah, mereka
kosongkan dari orang-orang.”
Jawabnya
“tadinya
sikapmu mendapatkan tempat yang agung di hatiku hingga sekarang aku dengar hal
ini.” Kataku
Dia begitu
cemas dan mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, lalu berkata, : “ apa
itu, wahai paman -semoga Allah merahmatimu-?.”
Apakah WC itu
milikmu.?” Tanyaku
“bukan”
jawabnya
Lantas apa
alasanmu mengeluarkan orang-orang darinya..? sepertinya dengan tindakanmu itu,
engkau ingin mengangkat dirimu di atas mereka dan menjadikan kedudukanmu berada
di atas kedudukan mereka. Kemudian engkau juga menyakiti si penunggu WC ini
dengan tidak mengabaikan upah hariannya dan membuat orang yang datang ke mari
pulang sia-sia.” Kataku lagi
Dia berkata, :
“ adapun mengenai penunggu WC ini, maka aku sudah membuatnya rela dengan
memberikan upah hariannya.”
“ini namanya
pengeluaran foya-foya yang dicampuri oleh kesombongan.
Apa sih yang
membuatmu enggan masuk WC bersama orang-orang padahal engkau sama saja dengan
salah seorang dari mereka.?” Kataku
“yang
membuatku enggan hanyalah polah beberapa orang tak beres yang masuk WC tanpa penghalang sehingga kau
tidak suka melihat aurat-aurat mereka itu.
Demikian pula aku tidak suka memaksa mereka
mengenakan penghalang, sehingga hal ini
bisa mereka anggap sebagai campur tanganku terhadap mereka dengan menggunakan
kewenangan penguasa yang aku bermohon kepada Allah agar terhindar darinya.
Karena itu, tolong nasehati aku sehingga berguna bagiku dan carilah solusi dari
permasalahan ini.” Jawabnya.
Aku berkata :
“ tunggulah dulu hingga orang-orang keluar dari WC pada malam hari dan kembali
kerumah-rumah mereka, lalu masuklah..”
“kalau begitu
aku berjanji. Aku tidak akan masuk selama-lamanya pada siang hari semenjak hari
ini dan andaikata bukan karena begitu dinginnya temperatur di negeri ini
(sehingga selalu ingin buang hajat), tentu aku tidak akan masuk ke WC itu
selama-lamanya.” katanya
Dia berhenti
sejenak seakan memikirkan sesuatu, kemudian mengangkat kepalanya menoleh ke
arahku sembari berkata, :
“Aku bersumpah
dihadapanmu, tolong dengan sangat engkau simpan rahasia ini sehingga tidak di
dengar ayahandaku, sebab aku tidak suka dia masih marah padaku. Aku khawatir
bila datang ajal sementara tidak mendapatkan keridhaan beliau.”
Maimun berkata
:
“lalu aku
berniat ingin mengetesnya seberapa jauh ke dalaman akalnya, seraya bertanya
kepadanya : jika Amirul mukminin bertanya kepadaku, apakah aku melihat sesuatu
darimu, apakah engkau tega aku berdusta terhadapnya..?”
“tidak,
Ma’adzakallah, akan tetapi katakan padanya, aku telah melihat sesuatu darinya
lantas aku nasehati dia, aku jadikan hal itu sebagai perkara besar di hadapan
matanya lalu dia cepat-cepat sadar. Setelah itu, ayahandaku pasti tidak akan
menanyakanmu untuk menyingkap hal-hal yang tidak engkau tampakkan kepadanya.
Sebab, Allah ta’ala juga melindungi dari mencari hal-hal yang masih
terselubung” jawabnya.
Maimun berkata
“ sungguh, aku belum pernah sama sekali melihat anak dan ayah seperti mereka
berdua _ semoga Allah merahmati keduanya-“.
Semoga Allah
meridhai khalifah Rasyid kelima, ‘Umar bin Abdul Aziz, menyejukkan kuburannya
dan kuburan putra serta buah hatinya, ‘Abdul Malik.
Keselamatanlah
bagi keduanya pada hari bertemu dengan Allah Ta’ala, Ar- Rafiqil A’la
Keselamatanlah
bagi keduanya pada hari dibangkitkan bersama orang-orang pilihan dan ahli
kebajikan.
0 Comments